Memunjung Kemanusiaan

Perspektif

Do what you love. Love what you do

Kalimat tersebut tentu sudah tidak asing lagi. Kalimat motivasi, penyemangat, atau nasihat bagi banyak orang – serta diucapkan oleh banyak orang. Melakukan hal yang sangat dicintai tentu sangat menyenangkan. Siapa yang tidak senang melakukan hal yang disenanginya? Manusia sangat senang bersenang-senang, terlebih lagi jika kesenangan tersebut mendatangkan penghidupan. Sebuah kesempurnaan hidup. Tentu, itu hal yang sangat diingini oleh setiap manusia.

Jujur saja, saya bukanlah orang yang tahu hal yang diinginkan. Dari dulu hingga sekarang, boleh dibilang, saya tidak pernah tahu keinginan saya. Saya hanya menjalankan kehidupan. Mengikuti alur yang tersedia. Memanfaatkan kesempatan yang ada. Hingga sekarang, saya bahkan tidak tahu dengan pasti bahwa yang saya jalani saat ini merupakan hal yang saya inginkan – meski telah bertahun-tahun menjalaninya.

Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta akan tumbuh karena terbiasa. Seiring dengan waktu, sejalan dengan kedekatan yang terjalin, cinta akan tumbuh. Mungkin itu yang terjadi pada diri saya. Karena terbiasa dengan dunia yang saya jalani, karena bertahun-tahun menjalani bidang ini, seiring dengannya pun saya mencintai dunia ini.

Seperti itukah? Entah.

Jika yang disebut cinta akan membuat seseorang tidak akan berpaling dari hal yang dicintai, maka saya tidaklah begitu mencintai dunia yang saya jalani ini. Ironis memang, karena meski tidak terlalu cinta tapi saya tetap menjalani dunia ini. Atau, meski sudah bertahun-tahun menjalani, cinta saya pada dunia ini tidak kunjung merekah. Tapi, bukankah cinta harus juga disertai dengan logika?

—-

Setelah lulus kuliah dan beberapa tahun masuk ke dunia kerja, saya berpikir ulang mengenai karier yang ingin saya jalani. “Karier seperti apa yang saya inginkan?” Berpikir cukup lama, saya pun kemudian seperti mendapat jawaban. Tidak jauh-jauh. Ayah sayalah asal jawaban itu. Ayah yang saat ini berusia 63 tahun pernah mengabdikan hampir separuh hidupnya pada sebuah perusahaan. Tiga puluh tahun lebih ayah saya bekerja di perusahaan ini – rentang waktu yang bahkan lebih lama dari masa hidup saya di Bumi ini.

Bercermin pada diri sendiri, saya yang berusia kurang dari separuh usia ayah sudah berkali-kali pindah tempat kerja. Sampai saat ini, 4,5 tahun merupakan masa terlama bagi saya mengabdikan diri di sebuah perusahaan – masa yang begitu singkat jika dibandingkan dengan yang ayah saya lakukan.

Ayah merupakan orang yang sangat sederhana. Seperti saya, dia hanya menjalani kehidupan, tanpa terlalu berambisi menaklukkan dunia. Tapi, sebelum mengabdikan diri di perusahaan tersebut, sebenarnya ayah pernah beberapa kali berganti tempat kerja – bahkan salah satunya adalah sebuah perusahaan yang lebih besar dibandingkan perusahaan tempat dia mengabdi selama lebih dari 30 tahun. Coba mencari tahu lebih dalam, ternyata perlakukan perusahaan tersebutlah yang membuat ayah saya bertahan dalam rentang waktu yang begitu lama.

Di perusahaan tersebut, ayah tidak hanya mengerjakan hal yang memang bidangnya. Lebih dari itu, ayah mendapatkan perhatian yang begitu besar. Tidak hanya untuk dirinya sendiri (ayah diikutkan dalam berbagai seminar dan pelatihan yang mengembangkan kemampuannya), tapi juga bagi seluruh anggota keluarga (seperti fasilitas kesehatan dan berbagai tunjangan).

Coba bertanya kepada ibu, saya mendapat jawaban yang membuat saya tercengang. Mengenai tunjangan (termasuk gaji), perusahaan tempat ayah bekerja melakukan hal yang luar biasa. Mungkin karena termasuk perusahaan menengah dengan manajemen yang bagus, karenanya mampu memberikan beragam fasilitas yang membuat para pekerjanya dapat bekerja dengan nyaman. Hal itu sempat membuat saya ingin coba peruntungan agar dapat bekerja di perusahaan tersebut. Tapi, peruntungan saya tidak seperti ayah saya. Saya tidak berhasil masuk ke perusahaan tersebut. Saya pun sedikit melakukan modifikasi pada keinginan saya. Kalau saya tidak bisa masuk ke perusahaan tersebut, saya ingin berkarier di perusahaan yang memiliki manajemen seperti perusahaan tersebut. “Pasti ada perusahaan di Indonesia ini yang memiliki manajemen seperti perusahaan itu,” begitu pikir saya.

Pencarian demi pencarian pun saya lakukan seiring perjalanan waktu. Satu kantor berpindah ke kantor yang lain. Tetapi, yang saya temukan adalah kekecewaan. Mungkin karena saya menaruh harapan yang begitu indah, karenanya saya terus berakhir dengan kekecewaan. Saya pun kemudian (harus) kembali memodifikasi keinginan. Kalaupun tidak mendapatkan perusahaan dengan manajemen yang sangat baik, cukuplah kiranya saya berkarier di perusahaan yang dapat memberikan saya rasa nyaman. Hmmm…. Terdengar begitu sederhana, kan?

—-

Nyaman merupakan hal penting bagi saya. Tidak hanya dalam mencari tempat berkarier, tapi juga dalam berbagai hal lainnya. Sering kali faktor inilah yang menjadi penentu utama terhadap hal yang saya jalani. Seperti misalnya mengenai pasangan. Kenyamananlah yang membuat saya memutuskan untuk menjalani hubungan dengan seseorang – dalam hal apapun itu. Nyaman mampu menyingkirkan berbagai hal yang menjadi patron “pasangan ideal”, seperti cantik, pintar, baik, dan sebagainya. Tapi ternyata, menemukan perusahaan yang mampu memberikan kenyamanan tidaklah semudah yang saya bayangkan – setidaknya menurut pengalaman yang saya alami.

Sebenarnya, ketika masuk ke sebuah perusahaan, saya berusaha beradaptasi dan membuat nyaman berada di perusahaan tersebut. Hasilnya, berhasil – setidaknya untuk beberapa saat, sampai kemudian ada saja hal yang membuat saya merasa tidak nyaman dan kemudian memutuskan untuk hengkang.

Mungkin pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang membuat saya merasa nyaman? Hmmm…. Tidak terlalu mudah menjawab pertanyaan ini. Jujur saja, merasa nyaman terhadap sesuatu merupakan sebuah misteri. Bisa saja seseorang nyaman dengan sesuatu tapi orang lain tidak. Atau sebaliknya.

Dalam kasus saya, saya akan merasa nyaman berada di suatu perusahaan bisa karena manejemen, tantangan yang diberikan, atau rekan kerja. Hanya saja, berdasar pengalaman, faktor terakhir yang terkadang memberi pengaruh terbesar. Bekerja bersama rekan-rekan yang menyenangkan dapat membuat saya berkompromi terhadap faktor lainnya. Hanya saja, ketika faktor lainnya itu semakin menjadi (negatif), saya harus memutuskan berpisah dengan orang-orang yang sudah membuat saya merasa nyaman. Sebuah keputusan sulit, tapi harus dilakukan demi menjaga rasionalitas dan perjalanan karier saya. Terlebih, saya pernah mengalami suatu masa dalam hidup yang membuat saya lebih berani dalam mengambil keputusan.

Kembali pada menjalani sesuatu yang dicintai, saya rasa merasa nyaman merupakan hal penting. Tidak hanya dalam karier. Dalam berbagai hal pun, saya rasa, sama seperti itu. Dalam hubungan dengan seseorang misalnya. Ketika rasa nyaman sudah tidak ada lagi, suatu hubungan akan berakhir.

Nyaman dalam hal ini tidaklah berarti tanpa masalah, zero conflict. Dalam apapun, masalah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan. Saya yakin, sepanjang 30 tahun lebih pengabdiannya di perusahaan tersebut, ayah saya telah melalui beragam masalah. Konflik demi konflik dihadapinya. Tapi, dia melalui semua itu dan bertahan hingga akhir masa kerja, dan pensiun. Jika dihadapi dan diselesaikan dengan baik, saya yakin masalah yang dihadapi malah membuat seseorang merasa nyaman dengan sesuatu. Adanya masalah akan semakin memperbesar rasa cinta. Tapi, jika tidak dihadapi dan diselesaikan dengan baik, yang terjadi justru sebaliknya. Meski yang menjadi penyebab masalah merupakan hal yang sederhana.

Mengenai besar-kecilnya suatu masalah pun menjadi hal lain yang sulit ditentukan. Tidak ada patron yang jelas mengenai hal ini. Suatu hal yang dianggap sepele oleh seseorang bisa jadi hal besar bagi orang lain. Begitu pula sebaliknya. Saya pun seringkali menghadapi masalah terkait hal ini. Dalam hubungan pribadi, privasi menjadi salah satu hal yang mendasar bagi saya. Sementara dalam karier, hmm… agak lebih rumit. Saya pernah kehilangan kenyaman ketika merasa tidak ada lagi tantangan yang diberikan perusahaan tersebut. Di saat lain, saya pernah kehilangan kenyamanan ketika merasa manajemen tidak memberikan perhatian atau bertindak seperti yang seharusnya. Tapi, kalau boleh memberi garis besar, soal kemanusiaan menjadi yang utama.

Dalam menjalani karier, saya sadar posisi saya sebagai pekerja. Saya mengabdikan diri untuk kemajuan (perkembangan) perusahaan. Perusahaan orientasi utama dalam semua hal yang saya lakukan. Tapi yang tak boleh dilupakan, sebagai pekerja, saya pun seorang manusia. Dalam hal ini, perusahaan tidak boleh melupakan keberadaan saya sebagai manusia.

Seperti halnya manusia-manusia lain, saya pun ingin merasa nyaman. Mendapat perhatian dan kesempatan mengembangkan diri merupakan sebagian rasa nyaman tersebut. Di atas itu semua, memperlakukan sebagaimana layaknya manusia merupakan yang terpenting, dan ini mencakup berbagai aspek. Mulai dari cara komunikasi, perlakuan, penghargaan, dan lainnya. Sebagai manusia, saya memang memiliki ambisi untuk meniti karier yang baik. Tapi selain itu, saya juga memiliki kebutuhan untuk dihargai selayaknya manusia. Dan jika itu saya dapatkan, mungkin saya bisa dengan yakin berkata “Saya menjalani hal yang saya cintai” – lalu memutuskan mengabdikan diri pada hal yang saya jalani tersebut.

2 pemikiran pada “Memunjung Kemanusiaan

Tinggalkan komentar