Kenapa Mawar?

Kasihan si Mawar. Yang tabah ya menjalani hidup
Kasihan si Mawar. Yang tabah ya menjalani hidup

Januari 2013. Selain berita banjir, kecelakaan maut yang melibatkan anak salah seorang pejabat di tanah air, kasus selebriti yang digrebek saat pesta narkotika, ada satu berita lagi yang akrab menghiasi pemberitaan media di tanah air (juga dunia): pemerkosaan.

Membaca, melihat, mendengar pemberitaan tentang pemerkosaan, kita akan akrab dengan kalimat “Sebut saja namanya mawar.” Bentuk lain yang juga kerap ditemui “Sebut saja namanya bunga.”

Sebenarnya, dua kalimat personifikasi tersebut tidak hanya biasa kita temukan dalam berita tentang pemerkosaan. Berita tentang pekerja seks komersil, tenaga kerja yang disiksa oleh majikan, atau berita-berita lain yang mengandung makna ‘negatif’ dan hal itu dialami oleh wanita. “Mawar” dan “bunga” hampir selalu digunakan sebagai personifikasi dari wanita yang mengalami kejadian tersebut. Yang menjadi keanehan, kenapa harus “mawar” dan “bunga”?

Bicara tentang stereotipe yang ada di masyarakat, “mawar” dan “bunga” memang kerap dikaitkan dengan sosok wanita. Sama-sama indah (emangnya pria enggak indah, ya?). Tapi sayangnya, pemberitaan yang dilakukan bukan tentang hal yang indah. Memang, yang mengalami kejadian adalah wanita, tapi yang dialaminya tidak bisa diidentikkan dengan ‘keindahan’.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kedua kata ini mengandung makna positif. Tentang keindahan, sesuatu yang dianggap sebagai pertanda baik, keelokan, dan lainnya.

Tidak puas, saya pun membuka Google dan mencari makna yang terkandung dalam “mawar”. Saya pun semakin terperangah. Dari sekian banyak penjelasan mengenai makna bunga mawar, tidak ada satu pun yang terkesan negatif. Kasih sayang, persahabatan, kesetiaan, cinta yang mendalam, kedekatan, dan lainnya. Satu makna yang mungkin bisa diarahkan menjadi negatif adalah “gairah”. Tapi bila dilihat secara luas, “gairah” memiliki makna “keinginan (tentang hasrat, semangat, kegembiraan, keberahian) yang keras”. Penting untuk dicatat: gairah tidak semata tentang berahi.

Jika memang pertimbangannya karena pemberitaan tersebut berkaitan dengan sesuatu yang dialami oleh wanita dan bunga begitu identik dengan kaum hawa, bukankah bisa dipilih jenis bunga yang lain? Jenis yang maknanya lebih mewakili kejadian yang dialami oleh ‘bunga’.

Masih dari hasil pencarian di Google, saya menemukan makna bunga tulip. Secara umum, bunga yang menjadi simbol negara Belanda ini bermakna cinta yang sempurna. Tapi saat melihat makna jenis-jenis bunga tulip, ada jenis yang menurut saya lebih mewakili kejadiaan yang dialami bunga. Menurut sumber yang saya dapat, tulip kuning berarti cinta yang tidak ada harapan/cinta bertepuk sebelah tangan. Terlalu spesifik memang dan tidak selamanya kejadian yang dialami ‘bunga’ karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi setidaknya, ada unsur negatif yang lebih kuat dalam makna bunga ini, atau ada bunga lain yang lebih menggambarkan?

Bukan apa-apa. Jika menggunakan “tulip” sebagai kata ganti wanita yang menjadi pemberitaan, akan lebih sedikit kemungkinan terjadinya diskriminasi terhadap sebagian wanita di Indonesia. Saya yakin, di Indonesia, wanita yang bernama Tulip jauh lebih sedikit dari yang bernama Mawar. Terbayang dalam pikiran saya, walaupun Mawar seorang wanita yang sukses, taat beribadah, jujur, dan berbagai sifat positif lainnya, dia akan tetap diberitakan sebagai korban pemerkosaan, korban kekerasan, atau berprofesi sebagai pekerja seks komersial.

Contribute to Simple Survey

Satu pemikiran pada “Kenapa Mawar?

Tinggalkan komentar