Naturalist

Miles Ahead
Miles Ahead

Suatu kali, saat menonton pertandingan sepakbola, seorang komentator membahas pentingnya program pembinaan sejak usia dini. Sangat setuju. Tidak ada yang lebih baik dari program yang terencana dengan matang untuk mengembangkan bakat-bakat muda. Tidak hanya dalam sepakbola, atau olahraga, tapi untuk segala bidang. Semua harus mulai dididik, dibina, diasah sedari muda. Terbentuk melalui proses—yang tentunya tidaklah pendek.

Melanjutkan obrolan, komentator ini menyinggung kehadiran pesepakbola yang tidak semata mengandalkan bakat. Program yang tersusun dengan baik mampu menghasilkan atlet profesional dengan kemampuan mumpuni. Tidak hanya bicara soal kemampuan, misalnya dalam sepakbola seperti mengolah bola, menendang, mengoper, dsb, tapi juga dari segi mental. Membiasakan seseorang terlibat dalam sebuah kompetisi sejak berusia dini akan membentuk mentalnya menjadi seorang olahragawan profesional. Tidak ada yang salah dengan itu.

Hanya saja, menurut saya, bakat tetap memiliki arti penting. Bakat alami, yang dimiliki sejak lahir. Kemampuan yang tertanam dalam diri. Yang hadir bersamaan dengan kelahiran di bumi.

Memang, bakat yang tidak diasa atau dibina dengan baik akan dapat tersia-sia. Tapi juga, mengikuti program latihan yang tersusun dengan sangat baik rasa-rasanya tidak akan berarti banyak jika memang seseorang itu tidak memiliki bakat. Setiap hari saya mendengarkan musik. Hampir setiap saat. Dari berbagai aliran. Saya menikmatinya. Boleh dibilang, saya ini cukup rutin dan tekun melatih serta membiasakan telinga saya dengan nada-nada yang indah. Tapi karena memang tidak ada bakat, bahkan sampai sekarang saya tidak bisa membuat bunyi sesuai dengan urutan tangga nada. Jangan terlalu jauh untuk bisa membuat nada do=C#, bahkan membedakan re dari mi saja sudah sesuatu yang luar biasa, atau kadang sebuah kebetulan jika saya berhasil melakukannya.

Ada hal-hal yang tidak bisa dilatih, bahkan dengan program yang telah disusun dengan sangat baik dan rapi. Bakat selalu tidak dapat dibohongi, atau ‘dikuburkan’ begitu saja.

Sepanjang sejarah manusia di dunia, ada begitu banyak kejadian seperti itu. Kisah tentang orang yang, seperti, tiba-tiba memutuskan mengubah jalan hidupnya—dan memperoleh kesuksesan. Cerita-cerita seperti ini biasa mengisi bagian inspiratif. Bahwa seseorang dapat menjadi siapapun yang mereka inginkan. Go ahead. Do whatever you want. Atau, kalimat-kalimat penyemangat lainnya menjadi pesan utama dari cerita seperti itu. Menurut saya, cerita-cerita itu tidak terjadi dalam seketika. Atau, tidak setiba-tiba yang dipikirkan. Atau, paling sial, semudah yang dibayangkan.

Sébastian Loeb memulai karier sebagai atlet senam. Bukan sekadar melatih diri dalam olahraga ini, dia pun sempat membuat prestasi. Tapi kemudian, dia malah menjadi legenda ketika memutuskan menekuni karier sebagai pembalap WRC. Bukan sekadar menjadi juara dunia, dia membuat catatan yang luar biasa di ajang balap ini—catatan yang sangat sulit dicapai oleh pembalap lain.

Membaca perjalanan hidupnya, seperti yang menjadi pesan moral cerita inspiratif, orang akan terdorong untuk berani melakukan sesuatu di luar rutinitas yang mereka jalani. Optimisme membuncah. Segala sesuatu seakan terlihat mudah. “Bisa!” Ya, memang, tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Tapi, yang perlu dipertanyakan, sebelum menghidupkan optimisme dalam diri, apakah sudah membekali diri untuk bisa mencapai kesuksesan itu? Terlebih, mengganti haluan bukanlah hal yang mudah.

Perjalanan karier Loeb sebagai pembalap WRC memang luar biasa. Dia pernah menjuarai seri balapan malam padahal lampu depan mobilnya tidak berfungsi. Dan mungkin yang sulit dilupakan adalah ketika menjadi juara dunia padahal di tengah musim dia harus keluar akibat kecelakaan parah yang dialami. Cukup bagi Loeb mengikuti balapan selama setengah musim untuk menjadi juara di musim tersebut. Luar biasa? Tentu saja. Terlebih jika melihat perjalanan karier bahwa sebenarnya dia lebih dulu akrab dengan dunia senam—berbeda dengan Marq Marquez, misalnya, yang sedari balita sudah akrab dengan motor balap.

Loeb memang lebih dulu menjadi atlet senam, tapi bukan berarti segala hal yang dipelajari dari senam menjadi tidak berarti di dunia balap. Tentu ada nilai yang tertanam selama dia mengasah diri sebagai atlet senam—yang kemudian tetap bertahan ketika memutuskan menjadi pembalap. Senam tidak sekadar melatih otot-otot tubuh menjadi lentur. Senam juga tentang fokus. Sedikit melakukan kesalahan, akibatnya akan besar—bahkan mungkin fatal. Mungkin fokus itu yang membuat Loeb menjadi pembalap luar biasa. Dan ditambah dengan bakat alami yang dimiliki, dia menjelma sebagai legenda di dunia balap.

Contoh lain, masih dalam bidang olahraga, sebut saja Zlatan Ibrahimovic. Lebih dulu menjadi atlet taekwondo, dan berhasil mengukir prestasi, pria asal Swedia ini menjadi salah satu penyerang terbaik di dunia. Bakat? Tentu saja. Latihan yang keras? Tak perlu dipertanyakan. Tapi, bagaimana dengan taekwondonya? Coba lihat rekaman gol-gol yang dibuat oleh pemain yang sekarang membela Manchester United ini. Perhatikan cara dia menendang. Lalu, bandingkan dengan cara menendang dalam taekwondo. Lebih dulu mendalami taekwondo malah menjadi poin lebih bagi Ibrahimovic ketika dia memutuskan menjadi pemain sepakbola profesional.

Di luar kedua contoh tadi, ada banyak cerita lain. Pesannya sama. Bukan sekadar ‘go ahead’, tapi mempersiapkan diri untuk sukses. Bukan sekadar keluar dari rutinitas dan menjalani hal-hal baru, tapi melatih diri sehingga memiliki nilai lebih dibanding yang lain.

Tinggalkan komentar