Ala Bisa, ya, karena Bisa

Ada rasa penasaran, sekaligis iri, ketika bertemu dengan orang yang bekerja di sebuah perusahaan dalam kurun waktu yang lama. Lama menurut ukuran saya, setidaknya 10 tahun. Bahkan, menempuh Sekolah Dasar saja, jenjang pendidikan terpanjang yang saya tempuh, terasa begitu lama. Itu saya jalani di masa kecil, ketika satu-satunya beban yang dipikirkan adalah tugas sekolah. Keseharian pun lebih banyak dilewati dengan bersenang-senang. Namanya juga anak-anak. Tapi, ketika beranjak dewasa, ketika ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan, dilakukan, dan sebagainya, menjalani/berkomitmen terhadap sesuatu dalam waktu lama sepertinya menjadi hal yang ‘luar biasa’.

Pikiran ini berawal ketika Bapak pensiun. Usai mengabdikan diri lebih dari tiga dekade di sebuah perusahaan, menurut peraturan, Bapak harus pensiun—walau sebenarnya keinginan untuk terus bekerja masih sangat tinggi dan karena ‘instruksi’ dari Ibu yang membuatnya harus mengubur keinginan itu.

Lebih dari tiga dekade. Hanya berbeda sekitar 1 tahun dari usia saya saat ini. Membayangkan diri bekerja di sebuah tempat sejak pertama hadir di dunia sampai berewok hampir menutupi wajah. Bukan sesuatu yang mustahil. Bukan pula sesuatu yang buruk—karena loyalitas tentulah sangat dihargai. Hanya saja, terasa begitu sulit. Sampai saat ini, sekitar 11 tahun setelah menamatkan kuliah, saya sudah menjalani karier di enam institusi.

Kutu loncat? Sempat terpikir seperti itu, tapi selalu ada hal yang tak bisa dikompromi dan memaksa saya untuk memulai karier di tempat lain.

Dalam 11 tahun berkarier, dua kali saya menjalani masa sebagai pengangguran. Beban? Sayangnya sama sekali tidak. Bahkan, pada masa yang pertama, andai orangtua tidak menunjukkan muka masam karena melihat anaknya yang hampir setiap hari di rumah atau pergi dengan tujuan yang tak jelas, sangat mungkin saya memperpanjang status pengangguran saya. Terdengar aneh atau gambaran pribadi yang tak bertanggung jawab, mungkin. Tapi, jujur saja, saya sangat menikmati masa itu. Bahkan ketika seorang teman bertanya apa saya merasa putus asa di kala itu, saya hanya menjawabnya dengan senyuman.

Entahlah. Ada sedikit rasa jumawa, bahwa saya memiliki kemampuan yang membuat saya dapat berkarier di tempat yang saya ingini. Saya ingat pada suatu pagi, datang ke sebuah gedung untuk menjalani psikotes. Tiba sekitar 30 menit sebelum waktu yang ditentukan, saya memanfaatkan waktu melihat orang-orang yang berlalu lalang di pintu gedung. Memperhatikan mereka, sampai kemudian, muncul simpulan: saya tidak siap untuk menjalani karier seperti itu. Saya pun tak pernah menginjakkan kaki di gedung itu. Naif? Memang. Tapi, kenapa harus memaksakan diri berkarier di tempat yang sedari awal sudah menimbulkan impresi ketidaknyamanan. Lagipula, ada begitu banyak akses informasi peluang pekerjaan. Dan mungkin, sekadar kemungkinan, mungkin itu pula yang membuat saya tak menjadikan status pengangguran sebagai beban.

Tidak seperti masa ketika Bapak mencari pekerjaan, atau gambaran perjuangan sarjana muda di film-film ‘70-’80an. Saya tidak harus membawa map cokelat berkeliling, dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dari satu kantor ke kantor lain, dari satu gedung ke gedung lain. Cukup dengan smartphone, saya bisa mendapat informasi yang saya butuhkan. Bisa melalui situs lowongan pekerjaan, jejaring sosial, atau bertanya pada teman-teman. Sangat mudah. Tak perlu berpeluh. Dan lagi, bisa memilih yang saya anggap paling sesuai.

Namun kemudian, ketika saya mempertanyakan loyalitas saya (rekor terlama saya bertahan di sebuah perusahaan adalah 4 tahun 5 bulan), saya mendapati cerita mencengangkan.

Dalam sebuah perjalanan, seorang teman bercerita tentang kenalannya. Sarjana muda. Baru saja menjalani wisuda. Peruntungannya cukup baik karena tak butuh waktu lama untuk mendapat pekerjaan. Tapi juga, tak butuh waktu lama (kalau tak salah ingat sekitar satu minggu sejak pertama masuk kerja) baginya untuk menyudahi karier di perusahaan itu. Alasannya: bekerja di perusahaan itu tidak manusiawi. Padahal, perusahaan yang dimaksud termasuk yang terpandang dan menjadi incaran banyak orang. Dan yang lebih membuat saya heran, kalaupun benar bekerja di perusahaan itu tidaklah manusiawi, kok, ya, tidak cari tahu dulu sebelum melamar atau setidaknya saat sesi wawancara? Atau, memang sekarang masanya sudah berubah, kesempatan begitu terbuka—jauh lebih terbuka dari yang pernah saya alami—sehingga sebuah keputusan bisa dibuat hanya dalam waktu satu minggu?

Saya mungkin tidak akan pernah menjalani seperti yang dialami Bapak, tapi juga saya bukan orang yang begitu impulsif. Bukannya karena tak bisa, tapi saya pun ingin belajar (menikmati, menjalani) sebuah kesetiaan.

Tinggalkan komentar